Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah …
Hari pertama anak itu telah melakukan 48 pake ke pagar setiap kali dia marah … Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memaku pake ke pagar.
Ahirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah.
Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahukan ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya.
Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar.
“Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya”
… “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu dan perbuatanmu meninggalkan bekas seperti lubang ini … di hati orang lain”
“Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya”
… “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu dan perbuatanmu meninggalkan bekas seperti lubang ini … di hati orang lain”
Renungan:
Tidak peduli berapa kali kita memohon maaf, kata-kata yang pernah keluar mulut kita akan menggema selamanya. Memang, sebuah permintaan maaf di hari yang Fitri ini bisa mengobati banyak hal. Namun, agaknya kita juga harus mengingat, bahwa semua itu tidak akan ada artinya, saat kita mengulangi kesalahan itu kembali.
Comments
Post a Comment
ya